Matahari pun Tak Bosan
Di pucuk dedaunan masih bergelayutan embun nan segar. Malu-malu ia untuk
pergi meninggalkan tempatnya. Hasil gutasi ditambah suasana dinginnya
malam dia muncul disana. Perlahan-lahan dia sebar senyum disekitarnya.
Kulihat sejenak. Kutatap lama. Senyumnya terlempar buatku. Hatiku
menyambut senyum itu. Namun, kehadirannya tak bertahan lama. Seiring
datangnya mentari, senyumnya menghilang. Angin sepoi datang menghampiri
dan tanpa belas kasihan dihantamnya sang embun hingga tersungkur berurai
di tanah. Hatiku teriris, kasihan melihat nasib si embun.
Ku bangkit setelah lama ambil posisi jongkok menyaksikan kejadian yang
menimpa embun. Mentari mulai meninggi dan membasahi seluruh ragaku
dengan cahaya kuningnya yang lembut. Kugerakan seluruh ototku. Kuajak
tubuhku beraktivitas. Yah… kuolah ragaku.
Putar kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku meliuk-liuk.
Aliran darah segar segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai
keasyikan. Di tengah keasyikan itu, samar-samar kudengar orang
bercakap-cakap. Kuajak kakiku melangkah mencari asal suara. Di ruang
tamu kudapati dua orang tengah terlibat perbincangan yang serius. Aku
intip dibalik pintu belakang. Bapak angkat dan temannya. Aku tak
mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Bahasa sunda adalah
penghalangnya, karena aku tidak mengerti bahasa itu.
Diam-diam kuberanikan duduk disamping bapak angkatku setelah mendapat
perizinan. Akupun kini terlibat dalam pembicaraan yang telah mereka
mulai. Dengan menggunakan bahasa indonesia raya, aku bertanya dan
menjawab serta menanggapi apa yang ada dalam diskusi pagi itu.
Masalah pekerjaan dan tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang jadi
perdebatan. Bapak angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni
pekerjaan itu. temannya seorang guru dan setengah-setengah menjalani
profesi yang dimilikinya.
“Saya heran kenapa kamu tak pernah capek bolak-balik dari rumah ke pasar
tiap hari?” Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir.
Bagaimana tidak coba , kalau aku boleh bertanya padanya kenapa pula dia
tak pernah capek bolak-balik dari rumahnya ke sekolah? Ya… kan?
“Kata siapa saya tidak capek!” Bapak menanggapinya singkat.
“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu tidak bosan?” pertanyaan lanjutan
buat bapak. Gila, sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich
dengan kerjanya. Ah, tapi apa mungkin. Kalau tidak kenapa dia bertanya
dengan pertanyan konyol dan konyol seperti itu? hatiku berdialog
sendiri.
Suasana ruangan membisu. Ku lirik bapak angkatku. Bapak diam. Bukan diam
biasa. Ada kebijaksanaan dan wibawa tercipta diwajahnya dan aku baru
tahu itu. perkenalanku dengan bapak angkatku belumlah lama, baru sepekan
lebih dua hari. Sejauh ini aku lihat bapak orangnya humoris, kocak,
suka bercanda dan jarang serius. Tapi pagi ini beda sekali.
Bapak menghela napas, mengisi ruang kosong didadanya. Perlahan mengalir
nasihatnya lewat lisannya. Diwejangkan jawaban buat pertanyaan temannya.
“Kamu tahu matahari bukan?” Retoris bapak bertanya. Temannya mengangguk. Begitu juga aku.
“Matahari bersinar disiang hari. Muncul ditimur dan tenggelam dibarat.
Dia bertugas menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di
seantero persada.”
Kembali bapak diam. Kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak. Aku
ikut menunggu apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.
“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa. Suasana kembali tak tegang.
“Bagaimana jadinya jika matahripun ikut bosan dan meninggalkan tugasnya?”
Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.
“Begitulah, bagaimana pula saya akan bosan bolak-balik ke pasar. Jika
saya bosan dan berhenti bekerja, tentunya anak istri saya tak akan
makan. Bukankah begitu Jang?”
Temannya tersenyum di balik anggukannya. Tampak semangat baru terpancar
di air mukanya, seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja Jang,
mendidik dan mengajar siswa-siswamu”
Aku terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku tidak menyangka
sedikitpun kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan
sekolah dasar ini mampu memberikan motivasi dan pencerahan pada
temannya, meskipun profesinya hanyalah sebagai seorang pedagang. Salut
dech… dua jempol untuk bapak angkatku… Hidup pak Rohim, Bapak yang
ikhlas penuh cinta menerimaku selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di pinggiran Kota Banten ini.
Hmm… Panon poe ge teu bosen, Mataharipun tak bosan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar