Sejarah memang terkadang melompat, meski
tidak jarang pula ia bergerak merayap. Tulisan ini berusaha menangkap
perkembangan dan lompatan peristiwa dalam sejarah perkeretaapian di
Jepang yang membentuk sejarah kegemilangan pelayanannya. Pada masa kini
pelayanan kereta api (KA) memiliki dua karakteristik utama, yaitu
ketepatan waktu dan kapasitas kereta yang baik. Membaca buku-buku
sejarah perkembangan KA di Jepang akan membawa kita pada sebuah
pemahaman tentang adanya proses panjang hadirnya moda transportasi yang
handal ini. Alur peristiwa sejarah ini menjadi penting untuk dipelajari
dalam kerangka menjadikan KA sebagai salah satu penyangga utama
transportasi di Indonesia. Oleh karena itu, rangkaian dalam tulisan ini
akan mengulas beberapa bagian dalam sejarah perkembangan KA di Jepang
yang mudah-mudahan mampu dijadikan sarana pembelajaran.
Hadirnya KA di Jepang tidak bisa
dipisahkan dengan Restorasi Meiji yang sedang berlangsung. Terpaan arus
modernisasi yang menjadi simbol utama Restorasi Meiji dimanfaatkan
dengan baik oleh menteri Kerajaaan Inggris untuk memasarkan teknologi KA
yang tengah mereka kembangkan. Pada masa itu, teknologi KA dapat
diibaratkan seperti teknologi LTE pada masa kini, di mana setiap
pasang mata di seluruh dunia berkeinginan besar untuk melihat dan
mengembangkan teknologi ini. Teknologi KA dipercaya mampu merevolusi
pola pergerakan manusia dan angkutan barang di dunia, karena KA diyakini
mampu menghilangkan batasan kecepatan dan kapasitas yang dihadapi oleh
moda transportasi lainnya pada masa itu. Pada saat teknologi ini
dikenalkan oleh pemerintah Inggris, Pemerintah Jepang sesungguhnya
sedang mengalami kegagalan panen di wilayah Tohoku. Kegagalan panen ini
menjadi salah satu sebab cepatnya adopsi teknologi KA di Jepang, karena
pemerintah Jepang meyakini bahwa adopsi teknologi ini mampu mengatasi
krisis serupa dengan membawa bahan pangan lebih cepat dari penjuru
negeri Jepang menuju daerah krisis (seperti Tohoku).
Meskipun disetujui oleh pemerintah,
adopsi teknologi ini rupanya tidak luput dari penentangan. Penentangan
terbesar hadir dari pihak militer yang menempatkan prioritas pada
persenjataan dan isolasionisme. Isolasionisme merupakan suatu paham yang
cukup umum pada masyarakat Jepang, di mana mereka menganggap KA yang
dibangun oleh para insinyur asing merupakan alat asing yang aneh.
Setelah mengalami beberapa kendala dalam hal kontrak dan administrasi,
akhirnya pemerintah Meiji menyepakati rencana pembangunan jalur KA.
Jalur KA pertama dibangun pada tahun 1872, yang menghubungkan ibukota
negara Tokyo dan pelabuhan di Yokohama. Yokohama merupakan satu di
antara beberapa pelabuhan yang dibangun untuk meningkatkan perdagangan
internasional. Setelah melakukan survei pada tahun 1870, akhirnya jalur
kereta sepanjang 29 km berhasil beroperasi pada tahun 1872. Kisah sukses
pembangunan ini kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembangunan jalur
KA dari Osaka menuju pelabuhan di Kobe. Tidak lama berselang, proses
pembangunan kemudian diteruskan dengan menghubungkan Osaka – Kyoto
(1876) serta Osaka – Otsu (1880).
Beberapa rentetan peristiwa ini
setidaknya memberikan beberapa pelajaran penting dalam kerangka
pengembangan jalur KA. Pelajaran pertama adalah prioritas pembangunan
yang menempatkan pembangunan jalur pendukung perdagangan pada posisi
pertama. Kebijakan pemerintah Jepang yang membangun jalur pusat kota
menuju pelabuhan (yaitu Tokyo-Yokohama dan Osaka-Kobe) untuk mendukung
jalur perdagangan, serta pola pikir desain jalur KA untuk ketahanan
pangan di penjuru negeri merupakan salah satu pesan penting tentang
prioritas pembangunan ini. Pesan ini menjadi sangat menarik, karena
dewasa ini umum dipahami bahwa fungsi utama KA adalah sebagai angkutan
penumpang serta mengurai kemacetan, dengan sedikit memberikan perhatian
kepada angkutan barang. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, akan
tetapi manakala menempatkan pola pikir dalam kerangka daya saing produk
dalam negeri dan efektivitas distribusi barang, maka pengembangan jalur
KA haruslah mengakomodasi efektivitas dalam distribusi barang. Karena
harga setiap barang yang sampai ke konsumen terkandung biaya untuk
mendistribusikannya, pengembangan jalur KA untuk menurunkan biaya
distribusi barang menjadi pesan penting yang patut digarisbawahi. Pada
masa mendatang pola pikir ini digunakan pula sebagai bahan pertimbangan
utama dalam melakukan standardisasi lebar rel, di mana peningkatan
kapasitas gerbong kereta untuk mengimbangi kemajuan industri kimia tidak
bisa dilakukan tanpa melakukan standardisasi lebar rel.
Pelajaran penting kedua adalah
dibutuhkannya proses panjang dalam membangun KA. Kenyamanan kehidupan
bertransportasi yang dinikmati masyarakat Jepang saat ini rupanya
merupakan buah dari proses panjang yang dimulai sejak sebelum tahun
1872. Proses ini mengalami fase naik-turun, fase
privatisasi-nasionalisasi, hingga fase persaingan dengan kendaraan
pribadi. Oleh karena itu membandingkan kondisi transportasi Indonesia
dengan transportasi Jepang bukanlah sebuah komparasi yang bijak, apalagi
dengan analisis bahwa pajak kendaraan yang mahal, dan ruang parkir yang
mahal sebagai alasan utama kecenderungan masyarakat Jepang menggunakan
transportasi umum. Sebelum memulai kebijakan pengetatan penggunaan
kendaraan, negara Jepang sudah memiliki sejarah panjang tentang proses
pembangunan transportasi massal sebagai tulang punggung sistem
transportasi bangsa. Mereka juga beruntung ketika persaingan antara
kendaraan pribadi dan angkutan massal sedang memuncak, perang dunia
memaksa pembatasan penggunaan bahan bakar untuk keperluan militer saja.
Sehingga, transportasi massal yang telah dipersiapkan sebelumnya tetap
menjadi pilihan utama masyarakat Jepang.
Pesan ketiga yang tidak kalah penting
adalah hubungan jalur KA dengan pertahanan dan keamanan bangsa. Di awal
kemunculannya, pihak militer merupakan pihak yang merasa paling
dirugikan dengan pembangunan KA ini, meskipun di masa mendatang militer
merupakan pihak yang sangat diuntungkan dalam distribusi logistik dan
prajurit di masa peperangan. Bahkan ketika ide elektrifikasi KA
dilakukan, pihak militer menganggap kembali ide ini akan membahayakan
ketahanan negara, karena serangan pada kereta rel listrik (KRL) lebih
mudah mematikan jalur distribusi logistik perang ketimbang penggunaan KA
uap.
Semoga pada tulisan selanjutnya dapat
dibahas proses privatisasi jalur KA dan nasionalisasinya kembali. Topik
ini sesungguhnya sedang menjadi perbincangan di Indonesia, sehingga
mudah-mudahan beberapa pesan penting dari sejarah nasionalisasi dan
privatisasi di Jepang dapat ditarik pelajarannya untuk diimplementasikan
di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar