Rabu, 25 Februari 2015

Sejarah Awal Kemunculan Kereta Api di Jepang

Sejarah memang terkadang melompat, meski tidak jarang pula ia bergerak merayap. Tulisan ini berusaha menangkap perkembangan dan lompatan peristiwa dalam sejarah perkeretaapian di Jepang yang membentuk sejarah kegemilangan pelayanannya. Pada masa kini pelayanan kereta api (KA) memiliki dua karakteristik utama, yaitu ketepatan waktu dan kapasitas kereta yang baik. Membaca buku-buku sejarah perkembangan KA di Jepang akan membawa kita pada sebuah pemahaman tentang adanya proses panjang hadirnya moda transportasi yang handal ini. Alur peristiwa sejarah ini menjadi penting untuk dipelajari dalam kerangka menjadikan KA sebagai salah satu penyangga utama transportasi di Indonesia. Oleh karena itu, rangkaian dalam tulisan ini akan mengulas beberapa bagian dalam sejarah perkembangan KA di Jepang yang mudah-mudahan mampu dijadikan sarana pembelajaran.
Hadirnya KA di Jepang tidak bisa dipisahkan dengan Restorasi Meiji yang sedang berlangsung. Terpaan arus modernisasi yang menjadi simbol utama Restorasi Meiji dimanfaatkan dengan baik oleh menteri Kerajaaan Inggris untuk memasarkan teknologi KA yang tengah mereka kembangkan. Pada masa itu, teknologi KA dapat diibaratkan seperti teknologi LTE pada masa kini, di mana setiap pasang mata di seluruh dunia berkeinginan besar untuk melihat dan mengembangkan teknologi ini. Teknologi KA dipercaya mampu merevolusi pola pergerakan manusia dan angkutan barang di dunia, karena KA diyakini mampu menghilangkan batasan kecepatan dan kapasitas yang dihadapi oleh moda transportasi lainnya pada masa itu. Pada saat teknologi ini dikenalkan oleh pemerintah Inggris, Pemerintah Jepang sesungguhnya sedang mengalami kegagalan panen di wilayah Tohoku. Kegagalan panen ini menjadi salah satu sebab cepatnya adopsi teknologi KA di Jepang, karena pemerintah Jepang meyakini bahwa adopsi teknologi ini mampu mengatasi krisis serupa dengan membawa bahan pangan lebih cepat dari penjuru negeri Jepang menuju daerah krisis (seperti Tohoku).
kereta_api_febri
Gambar 1. Ilustrasi KA di Jepang pada masa awal operasi
(sumber: Museum Transportasi, Tokyo)
Meskipun disetujui oleh pemerintah, adopsi teknologi ini rupanya tidak luput dari penentangan. Penentangan terbesar hadir dari pihak militer yang menempatkan prioritas pada persenjataan dan isolasionisme. Isolasionisme merupakan suatu paham yang cukup umum  pada masyarakat Jepang, di mana mereka menganggap KA yang dibangun oleh para insinyur asing merupakan alat asing yang aneh. Setelah mengalami beberapa kendala dalam hal kontrak dan administrasi, akhirnya pemerintah Meiji menyepakati rencana pembangunan jalur KA. Jalur KA pertama dibangun pada tahun 1872, yang menghubungkan ibukota negara Tokyo dan pelabuhan di Yokohama. Yokohama merupakan satu di antara beberapa pelabuhan yang dibangun untuk meningkatkan perdagangan internasional. Setelah melakukan survei pada tahun 1870, akhirnya jalur kereta sepanjang 29 km berhasil beroperasi pada tahun 1872. Kisah sukses pembangunan ini kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembangunan jalur KA dari Osaka menuju pelabuhan di Kobe. Tidak lama berselang, proses pembangunan kemudian diteruskan dengan menghubungkan Osaka – Kyoto (1876) serta Osaka – Otsu (1880).
Beberapa rentetan peristiwa ini setidaknya memberikan beberapa pelajaran penting dalam kerangka pengembangan jalur KA. Pelajaran pertama adalah prioritas pembangunan yang menempatkan pembangunan jalur pendukung perdagangan pada posisi pertama. Kebijakan pemerintah Jepang yang membangun jalur pusat kota menuju pelabuhan (yaitu Tokyo-Yokohama dan Osaka-Kobe) untuk mendukung jalur perdagangan, serta pola pikir desain jalur KA untuk ketahanan pangan di penjuru negeri merupakan salah satu pesan penting tentang prioritas pembangunan ini. Pesan ini menjadi sangat menarik, karena dewasa ini umum dipahami bahwa fungsi utama KA adalah sebagai angkutan penumpang serta mengurai kemacetan, dengan sedikit memberikan perhatian kepada angkutan barang. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi manakala menempatkan pola pikir dalam kerangka daya saing produk dalam negeri dan efektivitas distribusi barang, maka pengembangan jalur KA haruslah mengakomodasi efektivitas dalam distribusi barang. Karena harga setiap barang yang sampai ke konsumen terkandung biaya untuk mendistribusikannya, pengembangan jalur KA untuk menurunkan biaya distribusi barang menjadi pesan penting yang patut digarisbawahi. Pada masa mendatang pola pikir ini digunakan pula sebagai bahan pertimbangan utama dalam melakukan standardisasi lebar rel, di mana peningkatan kapasitas gerbong kereta untuk mengimbangi kemajuan industri kimia tidak bisa dilakukan tanpa melakukan standardisasi lebar rel.
Pelajaran penting kedua adalah dibutuhkannya proses panjang dalam membangun KA. Kenyamanan kehidupan bertransportasi yang dinikmati masyarakat Jepang saat ini rupanya merupakan buah dari proses panjang yang dimulai sejak sebelum tahun 1872. Proses ini mengalami fase naik-turun, fase privatisasi-nasionalisasi, hingga fase persaingan dengan kendaraan pribadi. Oleh karena itu membandingkan kondisi transportasi Indonesia dengan transportasi Jepang bukanlah sebuah komparasi yang bijak, apalagi dengan analisis bahwa pajak kendaraan yang mahal, dan ruang parkir yang mahal sebagai alasan utama kecenderungan masyarakat Jepang menggunakan transportasi umum. Sebelum memulai kebijakan pengetatan penggunaan kendaraan, negara Jepang sudah memiliki sejarah panjang tentang proses pembangunan transportasi massal sebagai tulang punggung sistem transportasi bangsa. Mereka juga beruntung ketika persaingan antara kendaraan pribadi dan angkutan massal sedang memuncak, perang dunia memaksa pembatasan penggunaan bahan bakar untuk keperluan militer saja. Sehingga, transportasi massal yang telah dipersiapkan sebelumnya tetap menjadi pilihan utama masyarakat Jepang.
Pesan ketiga yang tidak kalah penting adalah hubungan jalur KA dengan pertahanan dan keamanan bangsa. Di awal kemunculannya, pihak militer merupakan pihak yang merasa paling dirugikan dengan pembangunan KA ini, meskipun di masa mendatang militer merupakan pihak yang sangat diuntungkan dalam distribusi logistik dan prajurit di masa peperangan. Bahkan ketika ide elektrifikasi KA dilakukan, pihak militer menganggap kembali ide ini akan membahayakan ketahanan negara, karena serangan pada kereta rel listrik (KRL) lebih mudah mematikan jalur distribusi logistik perang ketimbang penggunaan KA uap.
Semoga pada tulisan selanjutnya dapat dibahas proses privatisasi jalur KA dan nasionalisasinya kembali. Topik ini sesungguhnya sedang menjadi perbincangan di Indonesia, sehingga mudah-mudahan beberapa pesan penting dari sejarah nasionalisasi dan privatisasi di Jepang dapat ditarik pelajarannya untuk diimplementasikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar